Entri Populer

Kamis, 12 Mei 2011

ASKEP KOLIK ABDOMEN


ASUHAN KEPERAWATAN
PADA PASIEN DENGAN KOLIK ABDOMEN
A. PENGERTIAN
Kolik Abdomen adalah gangguan pada aliran normal isi usus sepanjang traktus intestinal (Nettina, 2001). Obstruksi terjadi ketika ada gangguan yang menyebabkan terhambatnya aliran isi usus ke depan tetapi peristaltiknya normal (Reeves, 2001).
B. ETIOLOGI
1. Mekanis
 Adhesi/perlengketan pascabedah (90% dari obstruksi mekanik)
 Karsinoma
 Volvulus
 Intususepsi
 Obstipasi
 Polip
 Striktur
2. Fungsional (non mekanik)
 Ileus paralitik
 Lesi medula spinalis
 Enteritis regional
 Ketidakseimbangan elektrolit
 Uremia
C. MANIFESTASI KLINIK
1. Mekanika sederhana – usus halus atas
Kolik (kram) pada abdomen pertengahan sampai ke atas, distensi, muntah empedu awal, peningkatan bising usus (bunyi gemerincing bernada tinggi terdengar pada interval singkat), nyeri tekan difus minimal.
2. Mekanika sederhana – usus halus bawah
Kolik (kram) signifikan midabdomen, distensi berat,muntah – sedikit atau tidak ada – kemudian mempunyai ampas, bising usus dan bunyi “hush” meningkat, nyeri tekan difus minimal.
3. Mekanika sederhana – kolon
Kram (abdomen tengah sampai bawah), distensi yang muncul terakhir, kemudian terjadi muntah (fekulen), peningkatan bising usus, nyeri tekan difus minimal.
4. Obstruksi mekanik parsial
Dapat terjadi bersama granulomatosa usus pada penyakit Crohn. Gejalanya kram nyeri abdomen, distensi ringan dan diare.
5. Strangulasi
Gejala berkembang dengan cepat; nyeri parah, terus menerus dan terlokalisir; distensi sedang; muntah persisten; biasanya bising usus menurun dn nyeri tekan terlokalisir hebat. Feses atau vomitus menjadi berwarna gelap atau berdarah atau mengandung darah samar.
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Sinar x abdomen menunjukkan gas atau cairan di dalam usus
2. Barium enema menunjukkan kolon yang terdistensi, berisi udara atau lipatan sigmoid yang tertutup.
3. Penurunan kadar serum natrium, kalium dan klorida akibat muntah; peningkatan hitung SDP dengan nekrosis, strangulasi atau peritonitis dan peningkatan kadar serum amilase karena iritasi pankreas oleh lipatan usus.
4. Arteri gas darah dapat mengindikasikan asidosis atau alkalosis metabolik.
E. PENATALAKSANAAN MEDIS/BEDAH
1. Koreksi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit :
2. Terapi Na+, K+, komponen darah
3. Ringer laktat untuk mengoreksi kekurangan cairan interstisial
4. Dekstrosa dan air untuk memperbaiki kekurangan cairan intraseluler
5. Dekompresi selang nasoenteral yang panjang dari proksimal usus ke area penyumbatan; selang dapat dimasukkan dengan lebih efektif dengan pasien berbaring miring ke kanan.
6. Implementasikan pengobatan unutk syok dan peritonitis.
7. Hiperalimentasi untuk mengoreksi defisiensi protein karena obstruksi kronik, ileus paralitik atau infeksi.
8. Reseksi usus dengan anastomosis dari ujung ke ujung.
9. Ostomi barrel-ganda jika anastomosis dari ujung ke ujung terlalu beresiko.
10. Kolostomi lingkaran untuk mengalihkan aliran feses dan mendekompresi usus dengan reseksi usus yang dilakukan sebagai prosedur kedua.
F. PENGKAJIAN
1. Umum :
Anoreksia dan malaise, demam, takikardia, diaforesis, pucat, kekakuan abdomen, kegagalan untuk mengeluarkan feses atau flatus secara rektal, peningkatan bising usus (awal obstruksi), penurunan bising usus (lanjut), retensi perkemihan dan leukositosis.
2. Khusus :
a. Usus halus
 Berat, nyeri abdomen seperti kram, peningkatan distensi
 Distensi ringan
 Mual
 Muntah : pada awal mengandung makanan tak dicerna dan kim; selanjutnya muntah air dan mengandung empedu, hitam dan fekal
 Dehidrasi
b. Usus besar
 Ketidaknyamana abdominal ringan
 Distensi berat
 Muntah fekal laten
 Dehidrasi laten : asidosis jarang
G. DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN INTERVENSI
1. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual, muntah, demam dan atau diforesis.
Tujuan : kebutuhan cairan terpenuhi
Kriteria hasil :
a. Tanda vital normal
b. Masukan dan haluaran seimbang
Intervensi :
c. Pantau tanda vital dan observasi tingkat kesadaran dan gejala syok
d. Pantau cairan parentral dengan elektrolit, antibiotik dan vitamin
e. Pantau selang nasointestinal dan alat penghisap rendah dan intermitten. Ukur haluaran drainase setiap 8 jam, observasi isi terhadap warna dan konsistensi
f. Posisikan pasien pada miring kanan; kemudian miring kiri untuk memudahkan pasasse ke dalam usus; jangan memplester selang ke hidung sampai selang pada posisi yang benar
g. Pantau selang terhadap masuknya cairan setiap jam
h. Kateter uretral indwelling dapat dipasang; laporkan haluaran kurang dari 50 ml/jam
i. Ukur lingkar abdomen setiap 4 jam
j. Pantau elektrolit, Hb dan Ht
k. Siapkan untuk pembedahan sesuai indikasi
l. Bila pembedahan tidak dilakukan, kolaborasikan pemberian cairan per oral juga dengan mengklem selang usus selama 1 jam dan memberikanjumlah air yang telah diukur atau memberikan cairan setelah selang usus diangkat.
m. Buka selang, bila dipasang, pada waktu khusus seusai pesanan, untuk memperkirakan jumlah absorpsi.
n. Observsi abdomen terhadap ketidaknyamanan, distensi, nyeri atau kekauan.
o. Auskultasi bising usus, 1 jam setelah makan; laporkan tak adanya bising usus.
p. Cairan sebanyak 2500 ml/hari kecuali dikontraindikasikan.
q. Ukur masukan dan haluaran sampai adekuat.
r. Observasi feses pertama terhadap warna, konsistensi dan jumlah; hindari konstipasi
2. Nyeri berhubungan dengan distensi, kekakuan
Tujuan : rasa nyeri teratasi atau terkontrol
Kriteria hasil : pasien mengungkapkan penurunan ketidaknyamanan; menyatakan nyeri pada tingkat dapat ditoleransi, menunjukkan relaks.
Intervensi :
a. Pertahankan tirah baring pada posisi yang nyaman; jangan menyangga lutut.
b. Kaji lokasi, berat dan tipe nyeri
c. Kaji keefektifan dan pantau terhadap efek samping anlgesik; hindari morfin
d. Berikan periode istirahat terencana.
e. Kaji dan anjurkan melakukan lathan rentang gerak aktif atau pasif setiap 4 jam.
f. Ubah posisi dengan sering dan berikan gosokan punggung dan perawatan kulit.
g. Auskultasi bising usus; perhatikan peningkatan kekauan atau nyeri; berikan enema perlahan bila dipesankan.
h. Berikan dan anjurkan tindakan alternatif penghilang nyeri.
3. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan distensi abdomen dan atau kekakuan.
Tujuan : pola nafas menjadi efektif.
Kriteria hasil : pasien menunjukkan kemampuan melakukan latihan pernafasan, pernafasan yang dalam dan perlahan.
Intervensi :
a. Kaji status pernafasan; observasi terhadap menelan, “pernafasan cepat”
b. Tinggikan kepala tempat tidur 40-60 derajat.
c. Pantau terapi oksigen atau spirometer insentif
d. Kaji dan ajarkan pasien untuk membalik dan batuk setiap 4 jam dan napas dalam setiap jam.
e. Auskultasi dada terhadap bunyi nafas setiap 4 jam.
4. Ansietas berhubungan dengan krisis situasi dan perubahan status kesehatan.
Tujuan : ansietas teratasi
Kriteria hasil : pasien mengungkapkan pemahaman tentang penyakit saat ini dan mendemonstrasikan keterampilan kooping positif dalam menghadapi ansietas.
Intervensi :
a. Kaji perilaku koping baru dan anjurkan penggunaan ketrampilan yang berhasil pada waktu lalu.
b. Dorong dan sediakan waktu untuk mengungkapkan ansietas dan rasa takut; berikan penenangan.
c. Jelaskan prosedur dan tindakan dan beri penguatan penjelasan mengenai penyakit, tindakan dan prognosis.
d. Pertahankan lingkungan yang tenang dan tanpa stres.
e. Dorong dukungan keluarga dan orang terdekat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Nettina, Sandra M. Pedoman Praktik Keperawatan. Alih bahasa Setiawan dkk. Ed. 1. Jakarta : EGC; 2001
2. Smeltzer Suzanne C. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Alih bahasa Agung Waluyo, dkk. Editor Monica Ester, dkk. Ed. 8. Jakarta : EGC; 2001.
3. Tucker, Susan Martin et al. Patient care Standards : Nursing Process, diagnosis, And Outcome. Alih bahasa Yasmin asih. Ed. 5. Jakarta : EGC; 1998
4. Price, Sylvia Anderson. Pathophysiology : Clinical Concepts Of Disease Processes. Alih Bahasa Peter Anugrah. Ed. 4. Jakarta : EGC; 1994
5. Reeves, Charlene J et al. Medical-Surgical Nursing. Alih Bahasa Joko Setyono. Ed. I. Jakarta : Salemba Medika; 2001

Ressume Dengan Gangguan Decompensatio Cordis




I. IDENTITAS PASIEN
Nama pasien : Tn. M
Umur : 53 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : jL. kihapit barat RT7/RW9 leuwi gajah
NO. CM : 86240
Masuk RS : 10 mei 2011 (09.45)
Ruang : Herbra

II. ANAMNESIS

Keluhan Utama : Sesak nafas & Nyeri dada kiri

Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke RSU Cibabat dengan keluhan sesak nafas sejak 1 Minggu SMRS, memberat 1 HSMRS, sesak nafas ini dirasakan kambuh-kambuhan sejak 2 tahun terakhir, sesak nafas dirasakan saat istirahat, memberat bila pasien bekerja sehingga membuat pasien membatasi pekerjaan. Saat muncul gejala, dada dirasakan nyeri, terutama sebelah kiri menyebar hingga seluruh dada. Sesak nafas muncul jika pasien kecapaian, udara dingin dan bekerja terlalu berat. Saat sesak nafas muncul bunyi mengi, namun sekarang sudah tidak. Malam hari pasien kadang-kadang terbangun karena sesak nafas, dengan posisi tidur bantal ditinggikan membuat pasien agak lega. Mual juga dikeluhkan, muntah 1x sebelum dibawa ke rumah sakit. BAB dan BAK lancar normal.

Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien pernah menderita penyakit serupa kambuh-kambuhan sejak 2 tahun yang lalu.
Riwayat hipertensi ada
Riwayat penyakit gula disangkal
Riwayat penyakit asma disangkal pasien

Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada anggota keluarga yang menderita gejala serupa dengan pasien.

III. PEMERIKSAAN FISIK :
Keadaan Umum : lemah, tampak sesak napas.
Kesadaran : Compos Mentis
Vital Sign :
Tekanan Darah : 130 / 90 mmHg
Nadi : 92 x / menit
Suhu : 36,6 ยบ C
Respirasi : 30 x / menit.

1. Kepala :
Bentuk Kepala : Mesochepal, Simetris
Rambut : Hitam, sebagian putih, mudah dicabut.
Nyeri tekan : Tidak ada.

2. Mata
Palpebra : Tidak ada oedem
Konjungtiva : Anemis (-/-)
Sklera : Tidak ikterik
Pupil : Berespon terhadap rangsang cahaya, Isokor, diameter 2 mm.

3. Hidung : Simetris, tidak Nampak deformitas, tidak ada secret atau darah, nafas cuping hidung tidak ada.
4. Mulut : Bibir tidak kering, tidak sianosis, lidah tidak kotor, faring tidak hiperemi.
5. Telinga : Tidak ada deformitas, otore maupun nyeri tekan.
6. Leher :
Trakhea : Tidak terdapat deviasi trachea
Kel. Tiroid : Tidak membesar
Kel. Limfe : Tidak membesar
JVP : Tidak meningkat 5 – 2 cmH2O
7. Dada
Paru-paru
Inspeksi : Simetris, tidak tampak deformitas, tidak terdapat retraksi, tidak tampak jejas.
Palpasi : Tidak terdapat ketinggalan gerak, vocal fremitus kanan sama dengan kiri.
Perkusi : Sonor di lapang paru atas, redup pada regio basal, redup berubah dengan perubahan posisi (dx dan sin)
Auskultasi : SD Vesikuler (+/+), Ronkhi Basah Halus (+/+), Ronkhi Basah Basal (+/+)

8. Jantung
Inspeksi : Ictus Cordis terlihat di SIC VI linea axillaris anterior sinistra
Palpasi : Ictus Cordis teraba di SIC VI Linea axillaris anterior sinistra, kuat angkat.
Perkusi : Batas jantung kanan atas : SIC III LPS dx
Batas jantung kiri atas : SIC III LMC sinistra
Batas jantung kanan bawah : SIC V LPS dx
Batas jantung kiri bawah : SIC VI linea axillaris anterior sinistra
Auskultasi : BJ I-II reguler. Bising (-).
9. Abdomen
Inspeksi : Dinding perut sama dengan dinding dada, tidak ada deformitas.
Auskultasi : Persitaltic usus normal
Palpasi : Supel, tidak terdapat nyeri tekan, hepar lien tidak teraba.
Perkusi : Tymphani di seluruh lapang abdomen.

10. Ekstremitas
Superior : Tidak terdapat oedema, akral hangat, tidak pucat, tidak sianosis.
Inferior : terdapat oedema dx dan sin (minimal), akral hangat, tidak pucat, tidak sianosis.

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan darah rutin :
AL : 8,15 rb/mm3
AE : 0,24 jt/mm3
Hb : 12,2 gr/dL
Ht : 36,29 %
MCV : 90
MCH : 30,5
MCHC : 33,7
AT : 162 rb/mm3

Kimia Darah :
GDS : 144 Mg%
Chol.tot : 203 Mg%
TG : 70 Mg%
Ur : 28,72 Mg%
Cr : 1,4 Mg%
OT : 15 U/l
PT : 32 U/l
Asam urat : 9,90 Mg%
2. Ro Thorax :
Cor: kesan membesar
Hitung CTR = (a+b) = (4,5+11) = 0,56 > 0,5
(c1+c2) (14,5+13
Pulmo: corakan bronkhovaskuler bertambah
Tampak bercak-bercak kesuraman pada kedua paru
Diaphragm dan sinus dbn
Kesan: cor : cardiomegali
Pulmo: suspect oedem pulmonum


3. USG Abdomen
Tidak dilakukan

4. CT-Scan Thorax :
Tidak dilakukan
V. DIAGNOSIS KERJA
Diagnosis Fungsional: decompensatio cordis NYHA III
Diagnosis Anatomi: LVH, RVH
Diagnosis Etiologi: AMI

VI. PENATALAKSANAAN
• Bed rest posisi ½ duduk
• O2 2 liter / menit
• Infus D 5% 24 jam/ 1 kolf
• Pasang DC
• Inj. Furosemid 1 gr/ 24 jam
• Inj. Ceftriaxon 2 gr/ 24 jam
• Aspilet 2x1
• KSR 1x1
• Ulang EKG


LAPORAN PENDAHULUAN (DECOMPENSATIO CORDIS)

A. DEFINISI
Gagal jantung adalah sindrom klinis (sekumpulan tanda dan gejala) ditandai oleh sesak nafas dan fatik (saat istirahat atau saat aktivitas) yang disebabkan oleh kelainan struktur atau fungsi jantung (Price, 2006).

B. EPIDEMIOLOGI
Kejadian gagal jantung di Eropa berkisar antara 0,4% - 2% dan meningkat pada usia yang lebih lanjut, dengan rata-rata umur 74 tahun. Prognosis dari gagal jantung akan jelek bila dasar atau penyebabnya tidak dapat diperbaiki, 50% dari pasien gagal jantung akan meninggal dalam 4 tahun sejak diagnosis ditegakkan dan pada keadaan gagal jantung berat lebih dari 50% akan meninggal dalam tahun pertama (Price, 2006).

C. ETIOLOGI
Penyebab dari gagal jantung adalah penyakit yang menimbulkan penurunan fungsi ventrikel (seperti penyakit arteri koroner, hipertensi, kardiomiopati, penyakit pembuluh darah atau penyakit jantung congenital) dan keadaan yang membatasi pengisian ventrikel (stenosis mitral, kardiomiopati atau penyakit pericardial).Factor pencetus termasuk meningkatnya asupan garam, ketidakpatuhan menjalani pengobatan anti gagal jantung, infark miokard akut (mungkin yang tersembunyi), serangan hipertensi, aritmia akut, infeksi atau demam, emboli paru, anemia, tirotoksikosis, kehamilan dan endokarditis infektif (Sudoyo, 2007).



D. MANIFESTASI KLINIS
Berdasarkan bagian jantung yang mengalami kegagalan pemompaan, gagal jantung terbagi atas gagal jantung kiri, gagal jantung kanan dan gagal jantung kongestif. Gejala dan tanda yang timbul pun berbeda, sesuai dengan pembagian tersebut.
Pada gagal jantung kiri terjadi dyspneu d’effort, fatig, ortopnea, dispnea nocturnal paroksimal, batuk, pembesaran jantung, irama derap, ventricular heaving, bunyi derap S3 dan S4, pernafasan Cheyne Stokes, takikardia, pulsus alternans, ronkhi dan kongesti vena pulmonalis. Pada gagal jantung kanan timbul fatig, edema, liver engorgement, anoreksia dan kembung. Pada pemeriksaan fisik bisa didapatkan hipertrofi jantung kanan, heaving ventrikel kanan, irama derap atrium kanan, murmur, tanda-tanda penyakit paru kronik, tekanan vena jugularis meningkat, bunyi P2 mengeras, ascite, hidrotoraks, peningkatan tekanan vena, hepatomegali dan edema putting. Gagal jantung kongestif terjadi manifetasi gabungan gagal jantung kanan dan kiri (Price, 2006).
New York Heart Association (NYHA) membuat klasifikasi fungional dalam 4 kelas:
Kelas I : Bila pasien dapat melakukan aktivitas berat tanpa keluhan
Kelas II: Bila pasien tidak dapat melakukan aktivitas lebih berat dari aktivitas sehari-hari tanpa keluhan
Kelas III: Bila pasien tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari tanpa keluhan
Kelas IV: Bila pasien sama sekali tidak dapat melakukan aktivitas apapun dan harus tirah baring. (Sudoyo, 2007).

Diagnosis gagal jantung kongestif (Criteria Framingham)
Criteria Mayor:
1. Dispnea nocturnal paroksimal atau ortopnea
2. Peningkatan tekanan vena jugularis
3. Ronkhi basah tidak nyaring
4. Kardiomegali
5. Edema paru akut
6. Irama derap S3
7. Peningkatan tekanan vena >16 cm H2O
8. Refluks hepatojugular
Criteria minor
1. Edema pergelangan kaki
2. Betuk malam hari
3. Dyspneu d’eefort
4. Hepatomegali
5. Efusi pleura
6. Kapasitas vital berkurang menjadi 1/3 maksimum
7. Takikardi (>120x menit)

Criteria mayor atau minor
Penurunan berat badan >4.5 kg dalam 5 hari setelah terapi
Diagnosis ditegakkan dari 2 kriteria mayor ; atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor harus ada saat bersamaan (Sudoyo, 2007).
Edema paru merupakan penimbunan cairan serosa atau serosanguinosa yang berlebihan dalam ruang interstitial paru dan alveolus paru. Jika edema timbul akut dan luas sering disusul oleh kematian dalam waktu singkat. Edema paru dapat terjadi karena peningkatan tekanan hidrostatika dalam kapiler paru, penurunan tekanan osmotic koloid seperti pada nefritis, atau kerusakan dinding kapiler. Dinding kapiler yang rusak dapat disebabkan oleh inhalasi gas-gas yang berbahaya, peradangan seperti pada pneumonia atau karena gangguan local proses oksigenai. Penyebab tersering edema paru adalah kegagalan ventrikel kiri akibat penyakit jantung arteriosklerotik atau stenosis mitralis (obstruksi katup mitral). Jika terjadi gagal jantung kiri dan jantung kanan terus memompakan darah maka tekanan kapiler paru akan meningkat sampai terjadi edema paru (Price, 2006)
Pembentukan edema paru dapat terjadi dalam dua stadium:
1. Edema interstitial yang ditandai pelebaran ruang perivaskuler dan ruang peribronkial serta peningkatan aliran getah bening
2. Edema alveolar terjadi sewaktu cairan bergerak masuk ke dalam alveoli.
Plasma darah mengalir lebih cepat ke dalam alveoli daripada kemampuan pembersihan oleh batuk atau getah bening paru. Plasma ini akan mengganggu difusi O2, sehingga hipokssia jaringan yang diakibatkannya menambah kecenderungan terjadinya edema. Asfiksia dapat terjadi bila tidak segera diambil tindakan untuk menhilangkan edema paru. Pengobatan darurat pada edema paru akut berupa tindakan-tindakan untuk mengurangi tekanan hidrostatik paru, antara lain dengan menempatkan pasien dalam posisi Fowler dengan kaki menggantung; torniket yang berpindah-pindah; atau flebotomi (pembuangan darah sebanyak kira-kira 0,5 L). tindakan lain adalah dengan pemberian diuretic, O2 dan digitalis untuk memperbaiki kontraktilitas miokardium (Price, 2006).
Jika terjadi kongesti paru paif kronik, mungkin akan timbul perubahan structural paru (misalnya, fibrosis paru). Perubahan-perubahan ini memungkinkan paru berfungsi dalam keadaan terjadi peningkatan tekanan hidrostatik untuk sementara namun tanpa edema paru. Akan tetapi, keseimbangan ini tidak pasti dan pasien mungkin mengalami serangan dispneu pada waktu malam hari akibat peningkatan tekanan hidrostatik paru yang timbul karena posisi tubuh horizontal (Price, 2006)

E. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis gagal jantung antara lain:
1. Penyakit paru: pneumonia, PPOK, asma eksaserbasi akut, infeksi paru berat misalnya ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome)
2. Penyakit Ginjal: gagal ginjal akut atau kronik, sindrom nefrotik, diabetic nefropati
3. Penyakit Hati: sirosis hepatic
4. Sindroma hiperventilasi: psikogenik atau penyakit ansietas berat (Sudoyo, 2007)

F. PENEGAKAN DIAGNOSIS
Dalam membantu penegakan diagnosis gagal jantung dapat dilakukan pemeriksaan berikut ini:

1. EKG
Pasien gagal jantung jarang dengan EKG normal dan bila terdapat EKG normal dianjurkan untuk meneliti diagnosis gagal jantung tersebut. EKG sangat penting dalam menentukan irama jantung

2. Foto Toraks
Terdapat hubungan lemah antara ukuran jantung pada foto toraks dengan fungsi ventrikel kiri. Pada gagal jantung akut sering tidak terdapat kardiomegali. Kardiomegali mendukung diagnosis gagal jantung khususnya bila terdapat dilatasi vena lobus atas. Foto rontgen adalah indicator penting untuk menentukan ukuran jantung dan mendeteksi pembesaran. Yang paling umum digunakan adalah CTR (cardiothoracic Ratio). Selain itu juga digunakan diameter tranversal jantung. CTR adalah perbandingan diameter transversal jantung dengan diameter transversal rongga thoraks. Rasio normalnya 50% (55% untuk orang Asia dan Negro). Rasio ini meningkat pada orang tua dan pada neonates kadang mencapai 60%. Metode ini tidak bisa dipakai pada orang yang letak jantungnya mendatar (horizontal) atau vertical dan orang dengan pericardium penuh lemak (Malueka, 2008).

CTR = (a+b)
(c1+c2)
Keterangan:
Garis a: jarak dari penonjolan yang dibentuk oleh atrium kordis dekstra sampai ke Linea mediana
Garis b: jarak dari penonjolan yang dibentuk oleh ventrikel kordis sinstra sampai ke linea mediana
Garis c: jarak dinding kanan-dinding kiri melalui sinus kardiofrenik.
Normal = 48 – 50% (Malueka, 2008).


GAMBARAN RADIOLOGIS GAGAL JANTUNG KIRI
Pada foto thoraks gagal jantung terlihat perubahan corakan vaskuler paru
1. Distensi vena di obus superior, bentuknya menyerupai huruf Y dengan cabang lurus mendatar ke lateral
2. Batas hilus pulmo terlihat kabur
3. Menunjukkan adanya edema pulmonum keadaan awal
4. Terdapat tanda-tanda edema pulmonum meliputi edema paru interstitial dan alveolar.
Edema interstitial: edema ini menunjukkan septal line yang dikenal sebagai Kerley’s line, ada 4 jenis yaitu:
a. Kerley A: garis panjang di lobus superior paru, berasal dari daerah hilus menuju ke atas dan perifer
b. Kerley B: garis-garis pendek dengan arah horizontal tegak lurus pada dinding pleura dan letaknya di lobus inferior, paling mudah terlihat karena letaknya tepat diatas sinus costophrenicus
Garis ini adalah yang paling mudah ditemukan di gagal jantung
c. Kerley C: garis-garis pendek, bercabang, ada di lobu inferior. Perlu pengalaman untuk melihatnya, karena hampir sama dengan pembuluh darah.
d. Kerley D: garis-garis pendek, horizontal, letaknya retrostrenal hanya tampak pada foto lateral (Malueka, 2008).

Edema alveolar: terjadi pengurangan lusensi paru yang difus mulai dari hilus sampai ke perifer bagian atas dan bawah. Gambaran ini dinamakan butterfly appearance/ butterfly patterns atau bat’s wing pattern. Batas kedua hilus menjadi kabur (Malueka, 2008).


GAMBARAN RADIOLOGIS GAGAL JANTUNG KANAN
Beberapa tanda khas gagal jantung kanan adalah:
• Vena cava superior melebar, terlihat sebagai pelebaran di suprahiler kanan sampai ke atas
• Vena azygos membesar sampai mencapai lebih dari 2 mm
• Efusi pleura, biasanya terdapat di sisi kanan atau terjadi bilateral
• Interlobar effusion atau fissural effusion. Sering terjadi pada fissure minor, bentuknya oval atau elips. Setelah gagal jantung dapat diatasi, maka efusi tersebut menghilang, sehingga dinamakan vanishing lung tumor sebab bentuknya mirip tumor paru.
• Kadang-kadang disertai dengan efusi pericardial (Malueka, 2008).
3. Hematolosi dan biokimia (pemeriksaan laboratorium)
Peningkatan hematokrit memnunjukkan bahwa sesak nafas mungkin disebabkan oleh penyakit paru, penyakit jantung congenital atau malformasi arteri vena. Kadar ureum dan kreatinin penting untuk diagnosis differential penyakit ginjal. Kadar kalium dan natrium merupakan predictor mortalitas
4. Ekokardiografi
Pemeriksaan ini dilakukan untuk diagnosis optimal gagal jantung dalam menilai fungsi sistolik dan diastolic ventrikel kiri, katup, ukuran ruang jantung, hipertrofi dan abnormalitas gerakan
5. Tes fungsi paru
6. Uji latih beban jantung
7. Kardiologi nuklir




G. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan gagal jantung pada prinsipnya dapat dilakukan hal-hal berikut ini:
1. Meningkatkan okigenasi dengan pemberian O2 dan menurunkan pemakaian oksigen dengan pembatasan aktivitas
2. Memperbaiki kontraktilitas otot jantung
3. Menurunkan beban jantung dengan diet rendah garam, diuretic dan vasodilator (Sudoyo, 2007).

PEMBAHASAN
Diagnosa gagal jantung pada pasien ini ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesa didapatkan keluhan sesak nafas memberat 1 HSMRS, sesak nafas dirasakan kambuh-kambuhan sejak 2 tahun terakhir, dirasakan saat istirahat, memberat bila pasien bekerja sehingga membuat pasien membatasi pekerjaan. Saat muncul gejala, dada dirasakan nyeri, terutama sebelah kiri menyebar hingga seluruh dada. Sesak nafas muncul jika pasien kecapaian, udara dingin dan bekerja terlalu berat. Saat sesak nafas muncul bunyi mengi, namun sekarang sudah tidak. Malam hari pasien kadang-kadang terbangun karena sesak nafas, dengan posisi tidur bantal ditinggikan membuat pasien agak lega. Mual juga dikeluhkan, muntah 1x sebelum dibawa ke rumah sakit. Pasien juga mempunyai riwayat hipertensi
Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum lemah dan tampak seak nafas, dengan vital sign Tekanan Darah : 130 / 90 mmHg, Nadi: 92 x / menit dan Respirasi meningkat : 30x / menit. Pemeriksaan paru perkusi didapat sonor di lapang paru atas, redup pada regio basal, redup berubah dengan perubahan posisi (pada paru dx dan sin), pemeriksaan auskultasi paru didapat: SD Vesikuler (+/+), Ronkhi Basah Halus (+/+), Ronkhi Basah Basal (+/+). Pemeriksaan jantung didapat batas jantung melebar. Extremitas inferior didapat edema minimal. Dari pemeriksaan fisik dan anamnesa mendukung adanya tanda-tanda gagal jantug kanan dan kiri. Tanda-tanda gagal jantung kiri pada pasien ini yaitu: dyspneu d’effort, fatig, ortopnea, dispnea nocturnal paroksimal, pembesaran batas jantung, ronkhi basah halus dan ronkhi basah basal (tanda edema). Pada gagal jantung kanan timbul fatig, edema pulmo dan anoreksia
Pemeriksaan radiologi didapat Cor: kesan membesar dengan hitung CTR 0,56, pada Pulmo: corakan bronkhovaskuler bertambah, tampak bercak-bercak kesuraman pada kedua paru, diaphragm dan sinus dbn. Gambaran paru didapat Garis Kerley untuk menentukan edema interstitial sulit dinilai pada pasien ini, gambaran pengurangan lusensi paru yang difus mulai dari hilus sampai ke perifer bagian atas dan bawah (butterfly appearance/ butterfly patterns atau bat’s wing pattern) terlihat pada gambaran rontgennya, hal ini menunjukkan adanya edema alveolar. Edema alveolar merupakan kelanjutan dari edema interstitial. Sehingga didapat kesan cardiomegali dan suspect oedem pulmonum.
Gagal jantung kiri pada pasien ini merupakan komplikasi mekanis yang paling sering terjadi setelah infark miokardium, yaitu pada 50% kasus. Tanda-tanda adanya infark adalah adanya keluhan nyeri dada sebelah kiri yang dijalarkan ke seluruh bagian dada pada pasien ini. Hal ini sebaiknya dikonfirmasi dengan pemeriksaan EKG untuk melihat adanya kelainan di gelombang T apakah ada depresi atau T inverted. Infark miokardium mengganggu fungsi miokardium karena menyebabkan pengurangan kontraktilitas, menimbulkan gerakan dinding yang abnormal dan mengubah daya kembang ruang jantung tersebut. Dengan berkurangnya kemampuan ventrikel kiri untuk mengosongkan diri, maka besar curah sekuncup berkurang sehingga volume sisa ventrikel meningkat. Akibatnya tekanan jantung sebelah kiri meningkat. Kenaikan tekanan ini disalurkan ke belakang ke vena pulmonalis. Bila tekanan hidrostatik dalam kapiler paru-paru melebihi tekanan onkotik vaskuler maka terjadilah proses transudasi ke dalam ruang interstitial menyebabkan edema pulmo interstitial. Bila tekanan ini masih meningkat lagi, terjadi edema paru-paru alveoli akibat perembesan cairan ke dalam alveoli. Edema alveoli tampak pada pemeriksaan rontgen paru.
Gagal jantung kanan pada pasien ini adalah akibat meningkatnya tekanan vaskuler paru-paru hingga membebani ventrikel kanan. Selain tak langsung melalui pembuluh paru-paru terebut, disfungsi ventrikel kiri juga mempengaruhi langsung terhadap ventrikel kanan melalui fungsi anatomis dan biokimianya. Kedua ventrikel mempunyai satu dinding yang ama, yaitu septum interventrikuler dan keduanya terletak dalam pericardium. Selain itu, perubahan-perubahan biokimia seperti berkurangnya cadangan norepinefrin miokardium selama gagal jantung dapat merugikan kedua ventrikel.

DAFTAR PUSTAKA

Malueka, RG. 2008. Radiologi Diagnostik. Pustaka Cendekia Press. Yogyakarta.
Price, A.S et al. 2006. PATOFISIOLOGI Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Volume I Edisi 6. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Price, A.S et al. 2006. PATOFISIOLOGI Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Volume II Edisi 6. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Sudoyo, Aru W. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam, FK UI, Jakarta.